Pengertian Wewenang, Kekuasaan dan
Pengaruh
Pengertian Wewenang
Wewenang
(authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.Penggunaan
wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi.
peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan
sebagai metoda formal, dimana manajer menggunakannya untuk mencapai tujuan
individu maupun organisasi.Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan
dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Manajer perlu menggunakan lebih
dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka,
selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan
kepemimpinan mereka.
Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan
merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara
yang diinginkan. Studi tentang kekuasaan dan dampaknya merupakan hal yang
penting dalam manajemen. Karena kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi
orang lain, maka mungkin sekali setiap interaksi dan hubungan sosial dalam
suatu organisasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara pengendalian unit
organisasi dan individu di dalamnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan.
Kekuasaan manager yang menginginkan peningkatan jumlah penjualan adalah
kemampuan untuk meningkatkan penjualan itu. Kekuasaan melibatkan hubungan
antara dua orang atau lebih. Dikatakan A mempunyai kekuasaan atas B, jika A
dapat menyebabkan B melakukan sesuatu di mana B tidak ada pilihan kecuali
melakukannya. Kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa
pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok
yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus
dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain atau
kelompok lain.
Kekuasaan
amat erat hubungannya dengan wewenang. Tetapi kedua konsep ini harus dibedakan.
Kekuasaan melibatkan kekuatan dan paksaan, wewenang merupakan bagian dari
kekuasaan yang cakupannya lebih sempit. Wewenang tidak menimbulkan implikasi
kekuatan. Wewenang adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh seseorang karena
posisi yang dipegang dalam organisasi. Jadi seorang bawahan harus mematuhi
perintah manajernya karena posisi manajer tersebut telah memberikan wewenang
untuk memerintah secara sah.
Secara umum ada
dua bentuk kekuasaan:
1. Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan
yang didapat dari para pengikut dan didasarkan
pada seberapa
besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada pemimpin.
2. Kedua kekuasaan posisi, kekuasaan yang
didapat dari wewenang formal organisasi.
Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh (influence)
yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau
tingkah laku orang lain atau kelompok.
Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh (influence) yaitu tindakan atau
contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau tingkah laku orang
lain atau kelompok.
Struktur Lini dan Staf
1.
Lini/garis (line organization)
Suatu
bentuk organisasi dimana kepala eksekutif (chief executive) dipandang sebagai
sumber wewenang tunggal, segala keputusan/kebijakan dan tanggung jawab ada pada
satu tangan.
Sifat/ciri-ciri
:
1.
Organisasi kecil,
2.
Jumlah pegawai sedikit,
3.
Pemilik biasanya menjadi pemimpin tertinggi dalam organisasi,
4.
Hubungan kerja bersifat langsung (face to face relationship),
5.
Spesialisasi yang dibutuhkan rendah,
6.
Anggota organisasi saling kenal mengenal,
7.
Tujuan sederhana,
8.
Alat-alat sederhana,
9.
Struktur organisasi sederhana,
10. Produksi
yang dihasilkan belum beraneka ragam,
11. Pimpinan
organisasi seorang tunggal,
12. Garis
komando ke bawah kuat,
2. Organisasi staf (staff organisazition)
Adalah
suatu organisasi yang mempunyai hubungan dengan pucuk pimpinan dan mempunyai
fungsi memberikan bantuan, baik berupa pemikiran maupun bantuan yang lain demi
kelancaran tugas pimpinan dalam mencapai tujuan secara keseluruhan (tidak
mempunyai garis komando ke bawah/ke daerah-daerah). Staf yaitu orang yang ahli
dalam bidang tertentu yany tugasnya memberi nasehat dan saran dalam bidang
kepada pemimpin dalam organisasi.
Sifat/Ciri-ciri
:
a.
Organisasi besar dan kompleks
b.
Jumlah karyawannya banyak
c.
Hubungan kerja yang bersifat langsung tidak mungkin lagi bagi seluruh anggota
organisasi
d.
Terdapat dua kelompok besar manusia di dalam organisasi: 1) Line Personal; 2)
staff personal yang melaksanakan fungsi-fungsi staf (staff function)
e.
Spesialisasi yang beranekaragam diperlukan dan dipergunakan secara
maksimal
3. Organisasi fungsional (fuctional organization)
maksimal
3. Organisasi fungsional (fuctional organization)
Organisasi Fungsional
adalah organisasi yang susunannya berdasarkan atas fungsi-fungsi yang ada dalam
organisasi tersebut, misalnya fungsi produksi, keuangan, administrasi dn
lain-lain. Dalam organisasi ini seorang tenaga pengajar tidak hanya bertanggung
jawab kepada satu atasa saja. Pada organisasi ini pemimpin berhak memerintahkan
semua para tenaga pengajar/para karyawannya, selama masih dalam hubungan
pekerjaan.
Sifat/ciri-ciri
:
1.
Organisasi kecil
2.
Di dalamnya terdapat kelompok-kelompok kerja staff ahli
3.
Spesialisasi dalam pelaksanaan tugas
4.
Target yang hendak dicapai jelas dan pasti
5.
Pengawasan dilakukan secara ketat
6.
Tidak menjamin adanya kesatuan perintah
7.
Hemat waktu karena mengerjakan pekerjaan yang sama.
Wewenang lini, staf dan fungsional
1. Wewenang lini
Adalah wewenang dimana atasan melakukannya atas bawahannya langsung. Yaitu atasan langsung memberi wewenang kepada bawahannya, wujudnya dalam
wewenang perintah dan tercermin sebagai rantai perintah yang diturunkan ke
bawahan melalui tingkatan organisasi.
2. Wewenang staf
Adalah hak yang dipunyai oleh satuan-satuan staf atau para spesialis untuk
menyarankan, memberi rekomendasi, atau konsultasi kepada personalia ini. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh orang yang duduk sebagai taf yaitu
dengan menganalisa melalui metode kuisioner, metode observasi, metode wawancara
atau dengan menggabungkan ketiganya. Baishline mengajukan enam pokok
kualifikasi yang harus dipengaruhi oleh seorang staf yaitu :
a. Pengetahuan yang luas tempat diamana
dia bekerja
b. Punya sifat kesetiaan tenaga yang besar,
kesehatan yang baik, inisiatif, pertimbangan yang baik dan kepandaian yang
ramah.
c. Punya semangat kerja sama yang ramah
d. Kestabilan emosi dan tingkat laku yang
sopan.
e. Kesederhanaan
f. Kemauan baik dan optimis
Kualifikasi utama yaitu memiliki keahlian pada
bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Konsekkuensi organisasi yang
menggunakan staf yaitu menambah biaya
administrasi struktur orgasisasi menjadi komplek dan kekuasaan, tanggung jawab serta akuntabilitas. yaitu memiliki keahlian pada bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Wewenang staf Yaitu hak para staf atau spesialis untuk menyarankan, memberi rekomendasi konsultasi pada personalia yang tinggi, Hal yang perlu diperintahkan dalam mendelegasikan suatu kegiatan kepada orang yang ditujuk yaitu:
administrasi struktur orgasisasi menjadi komplek dan kekuasaan, tanggung jawab serta akuntabilitas. yaitu memiliki keahlian pada bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Wewenang staf Yaitu hak para staf atau spesialis untuk menyarankan, memberi rekomendasi konsultasi pada personalia yang tinggi, Hal yang perlu diperintahkan dalam mendelegasikan suatu kegiatan kepada orang yang ditujuk yaitu:
1. Menetapkan dan memberikan tujuan serta
kegiatan yang akan dilakukan
2. Melimpahkan sebagian wewenangnya kepada
orang yang di tunjuk
3. Orang yang ditunjuk mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan agar tercapainya tujuan.
4. Menerima hasil pertanggung jawaban bawahan
atas kegiatan yang dilimpahkan.
3. wewenang staf fungsional
Adalah hubungan terkuat yang dapat
dimiliki staf dengan satuan-satuan lini.
Chester Bamard
mengatakan bahwa seseorang bersedia menerima komunikasi yang bersifat
kewenangan bila memenuhi:
1. Memahami komunikasi
tersebut
2. Tidak menyimpang dari
tujuan organisasi
3. Tidak bertentangan
dengan kepeningan pribadi
4. Mampu secara mental
dan fisik untuk mengikutinya
Pendelegasian wewenang
Pendelegasian
wewenang merupakan sesuatu yang vital dalam organisasi kantor. Atasan perlu
melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen
dengan baik. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari
semakin besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan
wewenang, maka sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain dia
sendiri.Bila atasan menghadapi banyak pekerjaan yang tak dapat dilaksanakan
oleh satu orang, maka ia perlu melakukan delegasi. Pendelegasian juga dilakukan
agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga lebih memperkuat organisasi,
terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Yang
penting disadari adalah di saat kita mendelegasikan wewenang kita memberikan
otoritas pada orang lain, namun kita sebenarnya tidak kehilangan otoritas
orisinilnya. Ini yang sering dikhawatirkan oleh banyak orang. Mereka takut bila
mereka melakukan delegasi, mereka kehilangan wewenang, padahal tidak, karena
tanggung jawab tetap berada pada sang atasan. Berikut ada tips bagaimana
mengusahakan agar para atasan mau mendelegasikan wewenang.
Ciptakan
budaya kerja yang membuat orang bebas dari perasaan takut gagal/salah.
Keengganan seorang
atasan/manajer untuk mendelegasikan wewenang biasanya dikarenakan mereka takut
kalau-kalau tugas mereka gagal dikerjakan dengan baik oleh orang lain. Ini perlu
diatasi dengan mendorong mereka untuk berani menanggung resiko. Hanya dengan
berani menanggung resikolah perusahaan akan mendapatkan manajer-manajer yang
handal dan berpengalaman. Ciptakan budaya bahwa pendelegasian wewenang adalah
upaya agar manajer anda menjadi semakin matang. Pendelegasian wewenang bukan
sebuah hukuman yang mengurangi kekuasaan manajer, namun membuka kesempatan bagi
pengembangan diri mereka dan bawahan.Jadikan pendelegasian wewenang sebagai
bagian dari proses perbaikan.
Sentralisasi versus Desentralisasi
Berdasarkan
pemikiran di atas, maka kedepan Indonesia harus melakukan relokasi kekuasaan
dari negara ke unit-unit pemerintahan yang lebih kecil, karena itu sudah
merupakan kehendak jaman. Model sentralistis yang selama diprektekkan oleh
pemerintah tidak dapat lagi dipertahankan. Alasan-alasannya antara lain:
a. Kelemahan utama
konsep sentralistis adalah karena sangat kaku (rigit) sehingga sulit
berartikulasi secara optimal terhadap dinamika lingkungan. Konsep sentralisasi
sulit mengelola berbagai sumberdaya lokal yang sangat beragan dan bervariasi,
karena konsep ini tidak memiliki instrumen yang peka terhadap kemajemukan
(diversity). Pendekatan pemerintahan dilakukan dengana asumsi homogenitas
wilayah, sehingga akan menimbulkan kesenjangan dalam berbagai bidang atau aspek
(antar wilayah, antar lapisan dan natar golongan masyarakat).
b.
Kebijaksanaan sentralistis secara langsung maupun tidaklangsung telah membatasi
kreativitas sumberdaya pembangunn. Masalah yang dihadapi saat ini adalah
bagaimana menemukan dan merumuskan format yang tepat atau optimaldari relokasi
kewenangan tersebut. Pada satu sisi, sentralisasi mampu menawarkan efisiensi
dalam penyelenggaraan pemerintahanm. Tetapi pada sisi yang lain relokasi
kewenangan yang dijabarkan dalam bentukkewenangan politik dan administrasi di
samping akan menjawab berbgai kelemahan model sentralistik, juga memiliki
kelemahan yang intensitasnya sangat tergantung kepada kemampuan penegelolaan
kemajemukan yang ada. Konsep atau model yang keliru jelas tidak mampu
menghasilkan sinergi dari berbagai komponen wilayah dan bangsa, tetapi justru
akan mendorong timbulnya perpecahan atau disintegrasi bangsa.
c.
Ketidakmampuan merumuskan model relokasi kewenangan dimaksud mungkin merupakan
jawaban mengapa sejak diundangkannya UU No.5/1974 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah, tidak pernah diikuti oleh penyusunan PP atau Peraturan
Pememerintah yang mengatur berbagai pasal dalam UU tersebut. Model dan Proses
Desentralisasi. Relokasi kewenangan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah (relokasi/desentralisasi kewenangan
politik dan kewenangan administrasi) merupakan wujud sistem manajemen
pemerintahan yang sangat kondusif terhadap pengembangan dan peningkatan
kualitas Kemandirian Lokal.
Model
otonomi yang diamanahkan dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
meletakkan otonomi pada Daerah Tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya) merupakan
alternatip sesungguhnya adalah alternatip yang terbaik dibandingkan dengan
berbagai model otonomi yang lainnya, mengingat model ini lebih mendekatkan
birokrasi pemerintahan dengan masyarakatnya, dan yang disebut sebagai
masyarakat lokal hanya ada di desa dan kabupaten. Model otonomi pada Tingkat II
akan memudahkan proses penyaluran aspirasi masyarakat secara lebih luas dan
cepat dan dengan demikian pemberdayaan dengan jalan partisipasi dapat dengan
mudah dilakukan yang pada gilirannya proses demokratisasi sebagaimana hrapan
reformasi dapat diwujudkan. Namun persoalannya sekarang, masih banyak daerah,
terutama para perangkat pemerintahan belum sepenuhnya memahami konsep dasar
otonomi tersebut. Mereka lebih menekankannya pada sasaran penguasaan dan
pemilikan aset dan sumberdaya, sehingga dengan mudah menimbulkan pertentangan
antar wilayah atau antardaerah. Maka dalam kaitan ini otonomi daerah masih
sangat membutuhkan peranan Tingkat I sebagai kordinator, pengawas, dan pengarah
kegiatan pelaksanaan otonomi tersebut .Kelemahan sekaligus kekuatan UU No.22/99
terletak pada banyak Peraturan Pemerintah yang perlu disusun dalam upaya
implementasi amanah UU tersebut. Kualitas semangat reformasi dari penyelenggara
negara akan menentukan apakah hal tersebut akan menjadi kekuatan atau
kelemahan, karena penjabaran dari berbagai pasal kedalam Peraturan Pemerintah
akanmenentukan format sebenarnya dari model otonomi tersebut.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Di
samping itu kemampuan menemukan cara pengelolaan sumberdaya lokal relatif
sangat rendah, sehingga akan menghambat pelaksanaan otonomi apabila tidak memiliki
sumberdaya yang memadai. Berdasarkan hasisl kesilapan daerah yang disebutkan di
atas, dikhawatirkan timbulnya usul pelaksanaan otonomi daerah menjadi tertunda.
Perlu dikemukakan bahwa terdapat kecurigaan di klangan masyarakat bahwa otonomi
daerah sebagimana yang tercantum dalam UU No. 22/1999 hanyalah merupakan upaya
Pemerintah Nasional untuk mengulur waktu, karena memang tidak sepenuhnya
berniat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.Hal ini juga dipandang sebagai
upaya untuk mempertahankan status quo pola pemerintahan sentralistik yang
menghambat terciptanya iklim demokrasi serta upaya untuk menghambat
transparansi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bilamana
akumulasi masalah tersebut tidak diantisipasi sedini mungkin dalam model Otonomi
Daerah, maka akan bermuara pada konflik politik yang berkempanjangan karena
dianggap tidak sejalan dengan reformasi.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar